Reformasi TNI telah menghasilkan berbagai perubahan mulai pada aspek kultural, struktural, doktrinal, dan organisasional. Namun, beberapa gagasan awal yang sempat muncul pada awal reformasi, misalnya tentang kedudukan Kepala Staf Gabungan dan Markas Besar TNI yang secara struktural berada di bawah Kementerian (Departemen) Pertahanan, tidak terwujud. Subordinasi militerisme di lingkungan masyarakat sipil dan pengendalian sipil atas militer belum sepenuhnya terpenuhi.

Militerisme dan militer masih kuat dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kewenangan kebijakan pertahanan sebagian besar juga masih dipegang oleh Panglima TNI. Kedudukan Panglima TNI dalam hal ini juga masih disetarakan dengan kedudukan Menteri Pertahanan. Dua institusi tersebut mempunyai tanggung jawab langsung kepada Presiden. Hubungan koordinatif antara institusi militer (Markas Besar TNI) dan institusi sipil (Kementerian Pertahanan) tidak mencerminkan hubungan subordinasi-supremasi - salah satu ciri utama pengendalian demokratik otoritas sipil terhadap institusi militer.

Dengan demikian, meskipun telah melewati lebih dari empat belas tahun, reformasi TNI belum juga dapat mewujudkan hubungan sipil-militer yang demokratis. Watak politik TNI sekarang masih seperti yang pernah dikatakan Crouch di masa lalu yaitu adanya pandangan kegagalan kalangan sipil sebagai pemimpin politik. Oleh karena itu, restrukturisasi organisasi baik di Kementerian Pertahanan maupun institusi TNI tetap diperlukan. PErubahan struktur organisasi akan mampu mengubah peran dan sikap yang juga berdampak pada perubahan sosiologis masyarakat militer. Hal ini diyakini dapat mempengaruhi sikap dan perilaku kehidupan prajurit militer, yang akhirnya akan berpengaruh pula pada bagaimana mewujudkan hubungan sipil-militer yang demokratis.