"""Politisasi Hukum"" memberikan stigma negatif terhadap kehendak adanya ""supremacy of law"". Padahal, supremasi hukum merupakan cita-cita semua negara secara universal, tidak terkecuali Indonesia. Apabila Rule of Law sebagai pijakan primaritas negara, tentunya segala prosedural hukum dalam konteks perkara (pidana) harus lepas dari ikatan atau kepentingan politis. Suatu perkara (pidana) yang sudah sarat dengan muatan politis akan meninggalkan makna supremasi hukum itu sendiri. Dan itulah yang terjadi pada proses persidangan perkara pidana dugaan korupsi Mantan Presiden H.M. Soeharto,
Akibat keteledoran, disengaja atau tidak, dari Pasal 4 TAP MPR No. XI/ MPR/1998, perkara Mantan Presiden H.M. Soeharto menjadi lokomotif politik dari kekuasaan. Siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan, apakah pada era B.J. Habibie, era Gus Dur atau pun era pasca Gus Dur, akan menjadikan perkara itu sebagai obyek barometer operasionalisasi keberhasilan suatu kekuasaan.
Inilah yang terjadi: Perkara Mantan Presiden H.M. Soeharto diseret ke arah ""Politisasi Hukum yang tidak sehat, jauh dari harapan adanya suatu supremasi hukum, jauh dari cita Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Rule of Law. Politics are to be adopted by the Laws, not Laws to the Politics. ""Politisasi Hukum"" inilah yang rigid tegas sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Karena itu, tinjauan kilas proses perkara Mantan Presiden H.M. Soeharto ini mungkin berguna bagi kajian akademis maupun praktis dalam meninjau ulang secara obyektif pelaksanaan Hukum Pidana (Acara) agar terhindar adanya suatu ""Politisasi Hukum"" terhadap jalannya suatu proses perkara (pidana) yang sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dan semua itu, tentunya, tiada lain selain untuk menegakkan kehendak adanya suatu Supremasi Hukum bagi Republik Indonesia yang tercinta ini."