Buku ini memang bukan buku sejarah Dieng, secara mutlak. Tetapi hanya merupakan sisi lain dari tema, denomena dan formulasi Dieng, menurut kaca mata atau pertimbangan lepas dari seorang pelancong atau petualang intelektual. Akan tetapi mengingat minimnya eksplorasi sejarah tentang Dieng itu sendiri, maka kehadiran karya ini tidak bisa dianggap remeh. Ia bagaikan secercah embun yang sangat membatu melepas dahaga kekeringan informasi tentang Dieng. Apalagi dengan cara pendekatan penulisnya yang bergaya sastrawi-hermeneutis dan sekaligus spritualis, benar-benar mampu mengajak kita untuk menyinggahi Dieng era para Dewa.
Karya ini berangkat dari keprihatinan pensulisnya akan nasib yang dialami oleh Dataran Tinggi Dieng saat ini. menurut penulisnya Dieng era primodial adalah tenpat Sang Hyang Jagadnata melepaskan penatnya. Sebagai sebuah singgasana para Dewa, tentunya Dieng menjadi daerah yang sangat istimewa baik secara spiritual, geografis serta filosofis. Tetapi melihat Dieng saat ini banyak hal istimewa tersebut menjadi sira, baik disebabkan oleh pergeseran nilai yang dianut oleh masyarakat juga pemerintah.