Sebagai sebuah konstruksi, keistimewaan membutuhkan perangkat pendukung yang membuatnya layak disebut istimewa meskipun keistimewaan itu baru muncul ketika ia berhadapan secara dialektis dengan republik/kekuasaan pusat/atau pemerintah pusat. Untuk membuatnya layak disebut istimewa, maka dua hal paling krusial adalah sejarah dan aspek pertanahan yang dinilai lain daripada yang lain. Buku ini menggali pemaknaan tentang keistimewaan Yogyakarta dari pihak Paku Alaman. Dalam buku ini disajikan aspek-aspek yang diingat dan dilupakan dalam konstruksi keistimewaan. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat bagaimana wacana keistimewaan dikonstruksikan. Sebagai sebuah konstruksi, ia melibatkan banyak unsur yang saling berebutan dalam kompetisi gagasan tentang keistimewaan baik bersifat mendukung, menolak, atau pun berada di tengah-tengah/moderat. Pertanyaan yang akan dijawab melalui buku ini bukanlah bagaimana keistimewaan itu sebenarnya atau apa substansi riil dari keistimewaan, tetapi lebih pada bagaimana orang tahu dan memperbincangkan subjek keistimewaan itu sendiri? Siapa saja yang muncul sebagai subyek yang dibicarakan dalam wacana tentang keistimewaan dan siapa yang tidak muncul? Apa saja yang dilupakan dan tidak disebutkan dalam konstruksi keistimewaan dan mengapa hal-hal itu tidak muncul dalam konstruksi keistimewaan?