Minyak Bumi dan Bantuan Luar Negeri adalah ibarat sisi kembar dari sekeping mata uang logam. Keduanya mempunyai peran yang amat besar bagi tumbuh kebangnya ekonomi Indonesia. Selama hampir sepuluh tahun kehidupan ekonomi Indonesia sangat dibantu oleh “boom” minyak bumi pada tahun 1973/1974 dan 1979/1980. Untuk mengejar laju tumbuh yang lebih besar lagi, bantuan luar negeri mendapat porsi yang semakin besar. Bersamaan dengan itu sumber-sumber pembiayaan non-minyak—terutama pajak dan bea cukai—menjadi terlantar karenanya. Akibat dari kelemahan itu baru terasa kemudian, setelah harga minyak jatuh pad tahun 1982. Sejak itu pemerintah tidak lagi punya dana yang berlimpah untuk membiayai pembangunan. Laju tumbuh ekonomi nasional yang dulunya mengesankan mulai goyah akibat menurunnya tingkat kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Di samping itu dari sisi lain—yang lebih penting—yaitu daya beli dan kesejahteraan masyarakat atau lebih luas terlihat dari aspek pemerataan masih saja tetap memprihatinkan. Pemerataan yang seharusnya menduduki peringkat pertama dalam setiap prioritas kegiatan pembangunan semakin tertinggal pada ambisi untuk memenuhi target pertumbuhan sebesar-besarnya yang boleh jadi secara politis dan ideologis terpaksa “memberi hati” kepada para pemilik modal. Jelas sekali manfaat pertumbuhan tidak mengalir sama rata pada semua orang, sehingga jurang antara yang kaya dan miskin cenderung melebar. Satu dan lain hal yang berhubungan dengan masalah tersebut di muka dalam berbagai macam ragam dan konfigurasi dibahas dalam buku ini.