Bajak Laut dan perompak di Kawasan Teluk Aden dan Selat Malaka masih sangat relevan untuk diperbincangkan. Di satu sisi kawasan Teluk Aden yang diwakili oleh wilayah perairan Somalia mencerminkan klaim-klaim politik tentang negara yang gagal dalam pengelolaan keamanan wilayah baik di darat maupun lautnya. Di sisi lain, Selat Malaka merepresentasikan satu kawasan perairan yang notabene berada di teritori negara-negara stabil seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan Singapura. Karakteristik kedua lokus kejahatan tersebut menjadi dasar analisis untuk membandingkan aktivitas-aktivitas pembajakan dan atau perompakan yang terjadi.
Meskipun dianggap penting banyak pakar menanggapi fenomena tersebut dengan agak skeptis. Dalam artian, data-data yang disajikan oleh IMB di Kuala Lumpur dan ReCAAP di Singapura dianggap terlalu tendensus memasukan negara-negara pantai sepanjang Selat Malaka dalam jajaran negara-negara yang tidak mampu mengatasi gangguan keamanan maritimnya. Padahal apa yang terjadi di Selat Malaka, sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Teluk Aden. Perbedaan ini menurut berbagai akademisi dan praktisi mesti digarisbawahi dengan tegas. Maksudnya agar pendekatan-pendekatan penyelesaiannya secara hukum internasional juga dibedakan berdasarkan kadar serta intensitasnya.
Mungkinkah ada perbedaan-perbedaan karakteristik aktivitas bajak laut yang muncul? Faktor-faktor apa saja yang menjadi constraint penting dari munculnya aktivitas bajak laut? Sejauh mana karakteristik sosiologis masyarakat pantai memegaruhi aktivitas pembajakan di laut? Adakah kemungkinan aktor lain yang ikut bermain? Sebagian kalangan bahkan menilai beberapa pihak asuransi pelayaran internasional menikmati keuntungan dari tidak amannya Selat Malaka.